Kelompok 2

Kemunculan nasionalisme di Thailand berbeda dengan nasionalisme di Asia Tenggara yang lain, ini karena nasionalisme di Thailand terbagi kepada dua tahap. Tahap yang pertama merupakan rasa tidak puas hati rakyat tempatan terhadap penguasaan politik oleh kerbat diraja dan penentangan terhadap raja berkuasa mutlak. Perkembangan sistem pendidikan barat telah menbedakan fahaman liberal, sistem demokrasi dan sistem raja berperlembagaan kepada golongan intelek Thailand. Kelemahan sistem pentabiran dan sikap boros Raja Vajiravudh telah membuatkan rakyat tidak berpuas hati. Ini membawa kepada pertubuhan parti rakyat oleh Nai Pridi Phanamyong dan Field Marshall Phibul Shongram pada 1932. Partai ini telah melancarkan revolusi Thai pada 1939 yang telah menamatkan sistem raja berkuasa mutlak.
Nasionalisme tahap kedua pula di Thailand disebabkan rasa tidak puas hati rakyat terhadap cengkaman ekonomi oleh kapitalis barat dan orang Cina. Semasa Phibul Shongram menjadi perdana menteri, beliau telah meluluskan undang-undang untuk menyekat kebebasan orang Cina. Malah akhbar Cina dan sekolah Cina telah dibubarkan. Phibul Shongram juga telah menukarkan negara Siam kepada Thailand yang bermaksud “tanah bebas”. Hasil kerjasama dengan Jepang pada Perang Dunia Kedua, Thailand telah berjaya menyatukan wilayah-wilayahnya di Indo China dan Tanah Melayu.
Nasionalisme dilancarkan oleh raja dan para bangsawan (golongan konservatif), bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan negeri itu dari ancaman bangsa Barat. Karena itu nasionalisme Thailand terwujud dalam diplomasi dan modernisasi. Dengan demikian nasionalismenya tidak bertujuan mengusir penjajah untuk membentuk negara merdeka, melainkan mempertahankan kemerdekaan dengan jalan memajukan bangsa lewat diplomasi dan modernisasi.
Pelaksanaan nasionalisme lewat diplomasi bertujuan untuk menjaga Thailand agar jangan jatuh ke tangan bangsa Barat. Karena itu politik diplomasi Thailand adalah berusaha jangan sampai keijakan Thailand dapat dijadikan alasan bagi bangsa-bangsa Barat untuk menyerang Thailand. Itulah sebabnya di sampingmembina hubungan baik dengan Inggris, Thailand juga membina hubungan baikdengan Amerika Serikat, Denmark (1858), Belanda (1860), dan Prusia (Jerman). Di samping Inggris, bangsa Barat yang paling berbahaya bagi kemerdekaan Thailand adalah Prancis. Untuk mencegah ancaman Prancis, raja Thailand menghapus sama sekali hak-hak istimewa orang Inggris di Thailand, misalnya orang Inggris bebas berdagang di Thailand. Hal tersebut dilakukan agar tidak menimbulkan keirihatian Prancis sehingga dijadikan alasan menyerbu Thailand. Walaupun hak-hak istimewa Inggris itu sudah ditukar dengan Malaya, namun Inggris dan Prancis tetap menekan Thailand.
Pada tahun 1896 kedua bangsa Barat itu sepakat untuk menempatkan Thailand sebagai Negara pemisah antara kekuasaan Inggris di Myanmar dan Prancis di Indocina. Dengan demikian kedua negara Barat itu sungguh-sungguh menghormati bahkan menjaga kedaulatan Thailand. Sewaktu Jepang mulai mengancam Thailand, maka pada tahun 1898 raja Chulalongkorn mengadakan perjanjian dengan negeri matahari terbit itu. Sedangkan untuk menghindari bangsa Barat yang lain, maka dalam Perang Dunia I Thailand memihak Sekutu sehingga negeri itu benar-benar terhindar dari ancaman bangsa Barat. Dalam rangka untuk mengimbangi kemajuan bangsa Barat maupun Jepang, Thailand melancarkan modernisasi di segala bidang, terutama politik dan militer.
Tindakan yang pertama yaitu menghapus nama Siam (1939) yang biasa digunakan banyak negara untuk menyebut Thailand atau Muangthai. Adapun alas an penggantian nama tersebut karena Siam diartikan sebagai bangsa budak, sedangkan Muangthai berarti negerinya orang-orang bebas. Proses modernisasi Thailand dimulai oleh raja Mongkut dan sekaligus sebagai perintis pelaksanaan pendidikan Barat. Mongkut inilah yang dikenal sebagai peletak dasar atau perintis modernisasi Muangthai. Upaya modernisasi pemerintahan (politik), keuangan dan pendidikan mengandung unsur strategis yang lebih luas bertujuan melestarikan kemerdekaan dan persatuan Thailand dengan memperkuat kemampuan negeri itu untuk menanggulangi segala kemungkinan yang dapat terjadi dari perkembangan baru di wilayah yang berdekatan.
Modernisasi Thailand mencapai puncaknya pada masa pemerintahan raja Chulalongkorn (1868-1910). Dengan adanya modernisasi itu, maka absolutism sedikit demi sedikit ditinggalkan, rakyat makin dilibatkan dalam pemerintahan, serta demokrasi semakin dikibarkan. Pada masa pemerintahannya, ia melakukan pembaharuan besar-besaran. Ia mengorganisasi pemerintahan dengan menghapus kekuasaan raja-raja lokal. Raja-raja itu diangkat menjadi pegawai negeri dan pemerintahan disentralkan22. Adapun upaya untuk membentuk Thailand yang demokratis, maka dibentuklah UUD (1874). UUD tersebut bertujuan untuk membatasi kekuasaan raja yang bersifat absolute, sehingga lahirlah monarki konstitusional. Sepeninggal Chulalongkorn (1910), irama modernisasi tersendat. Penggantinya, Vajiravudh yang lulusan Universitas Cambrigde dan pernah dinas militer Inggris, tidak mau melanjutkan modernisasi. Ia selalu mengambil keputusan sendiri dan mengangkat pejabat dari orang-orang yang disukainya, sehingga terjadi pemborosan dan korupsi yang dilakukan oleh kelompoknya. Absolutisme dibangkitkan kembali.
Meskipun banyak kelemahan, Vajiravudh memiliki keunggulan juga. Ia berusaha keras meletakkan sistem hukum seperti yang digunakan bangsa Barat. Pada tahun 1921 ia memberlakukan wajib belajar di tingkat SD, dilanjutkan dengan mendirikan Universitas Chulalongkorn, dan membangun sekolah-sekolah berasrama. Di bidang sosial budaya, ia memerintahkan rakyatnya menggunakan nama keluarganya. Kepada kaum wanita diperintahkan untuk menggunakan model rambut orang Eropa serta rok sebagai ganti pakaian model Thailand yang tertutup rapat yang dinilai mengganggu kegesitan kerja. Organisasi Palang Merah didirikan pula dan mempopulerkan sepak bola.
Ditilik dari semua kebijaksanaan yang dilakukan, maka dapat dilihat bahwa selama masa pemerintahannya, Vajiravudh melakukan tindakan yang serba kontradiktif. Di satu sisi dia membiarkan berlangsungnya praktek pemborosan anggaran negara, korupsi, tindak tidak bertanggung jawab dari aparatnya, mengembalikan absolutisme, dan peniadaan dewan penasehat. Namun di pihak lain ia melakukan reformasi sosial yang bersifat penyadaran kepada rakyatnya atas hak-hak yang dimilikinya. Dengan kata lain, reformasi sosial yang dilakukan Vajiravudh pada hakekatnya suatu usaha untuk meletakkan dasar bagi terciptanya suatu cara pikir dan sekaligus mentalitas masyarakat modern.
Sepeninggal Vajiravudh, Thailand diperintah adik bungsunya, Prajadhipok (1925-1935). Ketika itu krisis ekonomi mulai melanda dunia, sehingga Thailand kesulitan keuangan. Ia mencari bantuan ke Inggris dan Prancis, tetapi gagal. Karena itu ia lalu mengurangi pegawai istana dari 3000 orang menjadi 300 orang, pegawai negeri dan militer juga dirasionalisasi dengan pemotongan gaji sehingga mengecewakan banyak pihak. Sedangkan uang yang ada digunakan untuk membangun stasiun radio, pangkalan udara Dong Muang, dan kebijakan lain yang berpihak rakyat. Namun kelompok yang dipotong gajinya merasa terpukul dan jumlah kalangan yang kecewa semakin besar.
Kelompok yang kecewa terhadap pemerintah terdiri dari kaum intelektual pimpinan Pridi Banomyong dan kelompok militer muda pimpinan Phibun Songgram, keduanya menamakan diri kelompok revolusioner. Ketidakpuasan dikalangan kaum revolusioner yang berpendidikan Barat, elite birokrasi dan pemerintahan dan kepemimpinan angkatan bersenjata yang lebih muda meningkat selama tahun-tahun krisis dunia, sehingga dengan dukungan militer pada tanggal 24 Juni 1932, Pridi melakukan revolusi tak berdarah. Revolusi Thailand tahun 1932 itu berhasil memaksa raja untuk menerima konstitusi baru yang menghilangkan hak-hak prerogatif raja (kecuali hak memberi pengampunan), kedaulatan penuh di tangan rakyat dengan ditentukan adanya lembaga-lembaga kenegaraan yaitu raja, kabinet dan parlemen. Untuk melunakkan kaum konservatif (pendukung raja), Pridi tidak mengangkat dirinya menjadi perdana menteri tetapi yang diangkat Phya Manomakorn (seorang revolusioner tetapi tidak teribat kudeta 1932).
Dalam perkembangannya, pemerintahan Manumakorn makin konservatif, sebab mulai mengembalikan kekuasaan prerogatif raja, lalu menuduh Pridi sebagai komunis dan membuangnya ke luar negeri. Ketika itu paham komunis memang sudah masuk Thailand yang disusupkan oleh agen Cina. Kelompok komunis Thailnad ini menganut paham Marxisme dan Leninisme.
Sewaktu akan membersihan angkatan bersenjata dari unsur-unsur radikal, ia justru dikudeta oleh militer pimpinan Phya Bahol (Phahon) yang kemudian memerintah Thailand 1933-1938, tetapi bersifat otoriter dan anti komunis. Tahun 1938 ia dikudeta oleh Phibun Songgram. Pemerintahannya bersifat anti Cina dan komunis, serta agresif. Setelah PD II undang-undang anti komunis dihapuskan agar Thailand tidak diveto Uni Soviet masuk PBB (1948).

Komentar